Real Steel

November 8, 2011

Charlie, peran yang dimainkan oleh Hugh Jackman adalah seorang mantan petinju yang mencopba peruntungan sebagai operator/manager robot petinju yang mana pertandingan tinju robot adalah event olahraga(?) populer pada tahun 2020, settingan tahun film ini. Dimulai dengan cerita yang standar, pertandingan pertamanya gagal total, hampir bangkrutlah ia. Tiba kesempatan ia mendapatkan uang banyak dengan “menjual” hak asuh anaknya yang belum pernah ia temui kepada kakak perempuan mantan istrinya, 10ribu dolar harganya, sangat cukup untuk membeli robot baru untuk kembali dipertandingkan. Namun secara tak terduga, itu anaknya yang bernama Max, terpaksa tinggal ama dia, mereka beli robot cantik dan mulai tanding, ambisius si Charlie ini dan gampang ditebak, kalah lagi. Akhirnya mereka pun mulai mencari spare part robot di sebuah gudang besar dan bertemulah Max dengan Atom, robot yang akan menjadi andalan mereka menuju kejuaraan dunia tinju robot.

Atom, yang kalau merujuk ke manga karya Osamu Tezuka merupakan The Greatest Robot on Earth, walau hanyalah robot butut yg fungsinya dulu adalah robot latih tanding, ternyata punya fungsi unik, shadowing. Dan dengan robot butut kurus inilah mereka menggapai kejayaan di film ini, sejalan dengan semakin dekatnya hubungan ayah anak ini.

Drama ayah anak dengan sedikit road movie plus sci fi dengan tambahan sedikit action, premis yang cukup banyak yang sayangnya tak tercampur dengan baik. Kesalahan paling fatal film ini adalah tidak adanya perhatian yang diberikan sutradara terhadap karakter robotnya, hanya selewat dan seakan tak penting. Maksud saya begini, jika anda duduk di sebuah cafe dengan teman-teman anda, dan teman-teman anda malah asik bermain dengan BB masing-masing dengan drama yang tersampaikan lewat ekspresi mukanya, apakah anda akan tetap perduli akan teman anda, atau mungkin BB-nya?. Robot-robot disini sama sekali bukan karakter, hanya mainan mahal yang asik dimainkan oleh Max dan Charlie dan karakter lain lewat remote kontrol canggihnya.

Bahkan Atom, yang harapan saya membuncah ketika nama tersebut muncul ternyata dari awal satu-satu upgrade yang dia dapat hanyalah penambahan mode perintah dari headset gitu, tak ada penggantian metal, tak ada penggantian sistem, tak ada penambahan sensor atau apapun, tetap aja kayak gitu dan guess what…dia bisa bertahan lama dan menang melawan robot super mutakhir dengan teknologi sensor dan durability terkini dari seorang dewanya desainer/engeneer robot padahal atom adalah produksi 2014, 6 tahun sebelum Zeus, robot gendut hitam itu. Jadilah ketegangan dan keseruan menunggu hasil akhir pertandingan murni milik karakter2 di film ini dan bukannya saya, penonton yang kemudian membuat saya menganggap konyol Charlie bershadow boxing ria di pinggir ring untuk memenangkan Atom. Saya benar-benar tak dilibatkan.

Dan walaupun product placementnya juga terlalu mendistract, film ini cukup baik menyampaikan pesan kalau hati dan perasaan manusia serta hubungan di antara mereka adalah jauh lebih penting dari sekedar permainan robot (yg mana, itu doang yg diseriusin di film ini). “I want you to fight for me!!” adalah salah satu qoute paling menampar di film ini dan scene dimana Max membuat atom meniru gerakannya untuk bisa membuat robot itu mengangkat dirinya adalah scene paling oke. Dan Fast Line serta Till I Collapse adalah soundtrack yg cukup bikin saya menikmati film ini :D.

One Response to “Real Steel”

  1. eL Ro Says:

    kalo menurutku penambahan element robotnya emang udah ngga perlu coz ni robot emang robot latih tanding, jd penonton udah ngga perlu banyak mikir…, naik turun’nya plot jg udah cukup lumayan…,, ni film emang salah satu favorite di warnet kami sampe di puter 3 kali..,, 😀

    well, sebenere ni comment cuman pengen bilang kangen review’nya arddhe lagi sech.., hehee…,, :p


Leave a comment